07 Agustus 2009

Sepenggal Hikmah


Dari Syaikh Ibnu ‘Athai’llah Assakandari


“Pemberian dari Allah adalah merupakan suatu kerugian (penghalang), dan penolakan dari Allah adalah suatu kebaikan (anugerah).”
( Al-Hikam : 68 )

Tujuan dasar manusia hidup di dunia adalah Allah semata, sebagaimana ikrar yang diucapakan ketika shalat, “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.” Juga dalam doa-doa dan wirid thoriqoh,

إلهي أنت مقصودى ورضاك مطلوبى أعطنى محبتـك ومعرفـتـك

“Tuhanku, Engkaulah tujuanku, dan ridloMu yang kuminta. Berilah aku cinta dan ma’rifat kepadaMu.”

Bila hal itu benar-benar menjadi pandangan dan tujuan hidup manusia, sehingga bisa beribadah dengan ikhlas dan bersih dari tujuan-tujuan pribadi, tanpa mengharapkan imbalan apapun dari Allah.semua amal ibadah yang dilakukannya sungguh-sungguh merupakan wujud pengakuan diri sebagai hamba (as-shidqu fil ‘ubudiyyah), yang karena hanya Dia yang pantas untuk dan berhak untuk disembah (al qiyaam bil huquuqir rububiyyah), maka yang demikian itu telah mencapai derajat “al muqorrobin”, “al-muhibbin”, dan “al-‘arifin”.
Adapun orang yang beribadah dengan tujuan agar selamat dari siksa neraka dan memperoleh karunia surga disebut “al-abror”, karena dalam ibadah-ibadahnya masih mengharap imbalan dari Allah, atau dengan kata lain masih ada unsur kepentingan dan tujuan pribadi.

1. “pemberian dari mahluk adalah kerugian (penghalang).” : Pemberian mahluk pada hakikatnya adalah penghalang untuk mengingat Allah, bila manusia lupa bahwa pemberi yang sebenarnya adalah Allah, bukan mahluk.
Dimaksud penghalang yakni apabila dalam menerima pemberian itu, seorang hamba akan terpaku ingatannya kepada si pemberi. Ia melihat pemberian itu sebagai nikmat dari si pemberi sendiri, belas kasih dari orang yang memberinya, sehingga menghalangi ingatan dan perasaan, bahwa pemberian itu berasal dari Allah semata.
Kata “kholqi” di atas bukan hanya tertuju pada manusia, tetapi juga bisa berupa harta benda, seperti sawah yang panennya melimpah ruah, perusahaan yang maju pesat, tokoh yang melimpah ruah, dan lain sebagainya. Bila pada saat mendapatkan rizki itu lantas lupa pada Allah, dan yang ada dalam ingatan hanya sawah, toko, dan perusahaan itu. Maka itu berarti telah terhalang dari mengingat Allah.

2. “penolakan dari Allah adalah kebaikan”. : ketika permintaan, keinginan, dan doa tidak dikabulkan oleh Allah, maka hal itu pada hakikatnya adalah merupakan suatu anugerah kebaikan (ihsan).
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai penolakan Allah. Semisal satu contoh, ada seorang petani yang mempunyai keinginan agar panennya yang akan datang melimpah ruah, dan untuk mewujudkan keinginannya itu dia berdoa kepada Allah, disamping juga melakukan ikhtiar dengan sungguh-sungguh, mulai dari memilih bibit unggul, pengairan yang cukup serta pupuk yang berkualitas. Namun ketika tiba saat masa panen ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, juga tidak seimbang dengan modal awal yang dikeluarkan.Dan banyak contoh lagi, seperti percintaan yang gagal, perusahaan yang bangkrut, perdagangan yang terus merugi, dan lain sebagainya. Hasil yang tidak sesuai dengan keinginan inilah yang dinamakan penolakan dari Allah.

Bagaimana bisa dianggap sebagai kebaikan (ihsan) dari Allah, padahal itu terasa menyakitkan dan menyengsarakan…….? Memang benar itu semua menyakitkan, akan tetapi yang perlu diingat kembali adalah, bahwa tujuan manusia hidup bukanlah makanan, harta atau uang. Tetapi semua itu hanya sebagai sarana untuk beribadah dan mencari ridlo Allah. Dan jika semua kejadian itu adalah atas kehendaknya, maka itu adalah ridlo Allah. Dan ridlo Allah tidak melulu diwujudkan dalam bentuk keberhasilan duniawi. Dan juga dengan adanya kegagalan duniawi itu Allah menginginkan hambanya agar lebih dekat dan mesra dengan-Nya.
*****

Seorang hamba yang apabila keyakinannya sudah mantab, bahwa semua yang terjadi adalah tidak lepas dari campur tangan Allah, maka dia akan mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah. Baik ketika itu diberi nikmat maupun diberi musibah.
Bagi orang yang telah ditatapkan Allah berada dalam maqom “kasab” (abror), maka di dituntut untuk melakukan asbab, sedangkan hasil itu urusan Allah. Sebagaimana firman Allah :

“Dan tidak ada suatu binatang melata (segenap mahluk Allah) pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). QS. HUD : 6

Hidup dengan menyandarkan harapan pada “asbab” dapat menyebabkan semua menjadi rumit, akan tetapi jika tidak terpengaruh pada asbab, maka semua tidak akan menjadi rumit.
Jika mungkin ada seseorang yang mempunyai anak tidak mau ta’at, disuruh sholat susah, diperintah ngaji juga susah, itu semua akan menjadi rumit jika hanya melihat pada asbab dhohiriyyah. Akan tetapi jika ingat bahwa semua itu dari Allah, maka seseorang itu akan selalu dapat mengintropeksi diri, bahwa sejatinya semua ujian itu datang dari Allah, yang itu adalah imbas dari dosa-dosa batin yang tidak disadari, padahal hati itu tidak boleh berprasangka buruk, riya’, ‘ujub, takabbur, dan lain sebagainya.
*****
Seorang hamba yang meyakini bahwa kekasih sejatinya hanya Allah semata, maka apapun yang Allah berikan padanya, baik pemberian atau penolakan, pasti ia akan menerima dan mengamininya dengan sepenuh hati. Karena sesuatu yang datang dari Kekasih pasti ada maksud dan tujuan tersembunyi.

Wallahu ‘Alam.

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar