Allah Ada tanpa Tempat
Keyakinan yang
paling mendasar setiap Muslim adalah meyakini :
- Bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan.
- Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya.
- Allah subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah.
- Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat.
Demikian keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan semacam ini dibahasakan, :
" Bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu
" Allah subhanahu wa ta‘ala wajib tidak menyerupai makhluk-Nya.
- Bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan.
- Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya.
- Allah subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah.
- Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat.
Demikian keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan semacam ini dibahasakan, :
" Bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu
" Allah subhanahu wa ta‘ala wajib tidak menyerupai makhluk-Nya.
Ada sebuah dialog yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini :
- Allah
subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat,
dengan seorang Wahhabi yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat.
dengan seorang Wahhabi yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat.
Wahhabi berkata :
“Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap
sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada
tanpa tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.”
Sunni menjawab ; “Sekarang saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat sebelum diciptakannya tempat?”
Sunni menjawab ; “Sekarang saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat sebelum diciptakannya tempat?”
Wahhabi menjawab: “Betul,
Allah ada tanpa tempat sebelum terciptanya tempat.”
Sunni berkata :
“Kalau memang wujudnya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu
rasional, berarti rasional pula dikatakan, Allah ada tanpa tempat
setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah ada tanpa tempat, tidak
berarti menafikan wujudnya Allah.”
Wahhabi
berkata : “Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat
sebelum terciptanya tempat?”
Sunni menjawab : “Pernyataan Anda mengandung dua kemungkinan.
- Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali (tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
Sunni menjawab : “Pernyataan Anda mengandung dua kemungkinan.
- Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali (tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
اَللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ. (الزمر : ٦٢).
“Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS. al-Zumar : 62).
- Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
هُوَ اْلأَوَّلُ وَاْلآَخِرُ. (الحديد : ٣).
“Dialah (Allah) Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha Akhir (Wujudnya tanpa akhir).” (QS. al-Hadid : 3).
Demikianlah
dialog seorang Muslim Sunni dengan orang Wahhabi.
Pada dasarnya,
pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah subhanahu wa ta‘ala
ada dengan tempat dapat menjerumuskan seseorang keluar dari keyakinan
yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala Maha
Suci dari segala kekurangan.
Tidak
jarang, kaum Wahhabi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan
keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat di langit.
Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang sama.
Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra
Al-Hafizh
Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama
ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh (gelar kesarjanaan
tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang
sangat menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar,
sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat
kisah berikut ini.
“Pada
tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan
tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah
yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka
menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan
hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal
penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wa ta‘ala dan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi
Wahhabi.
Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal
(zhahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu
ada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka.
Akhirnya saya (al-Ghumari)
berkata kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi
termasuk bagian dari al-Qur’an?”
Wahhabi menjawab : “Ya.”
Saya berkata :
“Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi
wajib?”
Wahhabi menjawab : “Ya.”
Saya berkata : “Bagaimana dengan firman
Allah subhanahu wa ta‘ala:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ. (الحديد : ٤).
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4).
Apakah ini termasuk al-Qur’an?”
Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
مَا يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ وَهُوَ رَابِعُهُمْ. (المجادلة : ٧).
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7).
Apakah
ayat ini termasuk al-Qur’an juga?”
Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk
al-Qur’an.”
Saya berkata : “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap
ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan
bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini
dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari
Allah subhanahu wa ta‘ala?”
Wahhabi itu menjawab : “Imam Ahmad mengatakan
demikian.”
Saya
berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak
mengikuti dalil?”
Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu
kalimat pun keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban
mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil,
sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada
di langit tidak boleh dita’wil. Seandainya mereka menjawab demikian,
tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan
menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat
yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya
mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil
ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan
kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafizh Ibn Hajar
tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat
dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh
(menyerahkan pengertiannya kepada Allah subhanahu wa ta‘ala).” Demikian
kisah al-Imam al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga
ulama terhebat kaum Wahhabi.
Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar
Pada
tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang
Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya
berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial
AH pula, tetapi lain orang.
Dalam perdebatan tersebut saya bertanya
kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di
langit?”
Menanggapi
pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut
asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit.
Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas
menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut
para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda
berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat
dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya :
Allah subhanahu wa ta‘ala
berfirman:
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS.
al-Hadid : 4).
Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala
bersama kita di bumi, bukan ada di langit.
Dalam ayat lain Allah
subhanahu wa ta‘ala berfirman:
وَقَالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ. (الصافات : ٩٩).
“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
Dalam
ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya,
padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian,
secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala
bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.”
Setelah saya berkata
demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan
berkata: “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah
dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
shahih:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ
اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ
اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan
yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab:
“Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya;
“Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak
ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”
Setelah
AH berkata demikian,
Saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan
dengan hadits yang Anda sebutkan.
Pertama, dari aspek kritisisme ilmu
hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama
tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya),
sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari
perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang
meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana
Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua,
dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut
dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat
Allah subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala
itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.
Ketiga,
apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan
dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi.
Al-Imam al-Bukhari
meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي
الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ
أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ
قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ.
“Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan
tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau
bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam
shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau
Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah
ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau
di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).
Hadits
ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang
sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari
hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari.
Setelah
saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya.
Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru
mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di
langit itu ijma’ ulama salaf.”
Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan
bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an.
Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan
hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang
berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat
justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat.
Al-Imam Abu
Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ
“Kaum
Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah
bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.”
(al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Al-Imam
Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah,
risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ.
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah
saya menjawab demikian kepada AH,
Saya bertanya kepada AH: “Menurut
Anda, tempat itu makhluk apa bukan?”
AH menjawab : “Makhluk.”
Saya
bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat,
Allah ada di mana?”
AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan
termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan
tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada
acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota
jamaah AH.
Demikianlah,
cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab
pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana
tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab,
“Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui
bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum
terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak
boleh.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ
لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ
مَا كَانَ. قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه
البخاري).
“Imran
bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk
Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan
tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada
sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).
Hadits
ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah
subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat.
Al-Imam
al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut
ini:
عَنْ
أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا
قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ
هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ
أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ
لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
“Abi
Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di
manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun
yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak
ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’
berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah
ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi
berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Dalam
setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi,
pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi
mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan
dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen
dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni
dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih
kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi
tidak dapat membantah dan menjawabnya.
Keyakinan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi
salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah
subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah
sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak
bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Syaikh al-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra
Ketika
orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan
alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang-orang
Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para
penyembah berhala.”
Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka.
Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka.
Mereka
menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab
al-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing.
Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh al-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja juga mereka sembelih.
Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh al-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja juga mereka sembelih.
Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah subhanahu wa ta‘ala dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari Hijaz.
Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah al-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hafal Sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta‘ala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim.
Lalu Syaikh Abdullah al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu:
“Apabila
Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka
sesungguhnya Allah subhanahu wa ta‘ala telah berfirman dalam al-Qur’an:
وَمَنْ كَانَ فِيْ هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي اْلآَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً. (الإسراء :٧٢).
“Dan
barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan
lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS.
al-Isra’ : 72).
Berdasarkan
ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra
di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih
tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada
majaz?”
Mendengar
sanggahan Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun
tidak mampu menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak buahnya
agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si
tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi
dari Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan
oleh al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil
Kalau
kita mengamati dengan seksama, perdebatan orang-orang Wahhabi dengan
para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan mudah kita simpulkan, bahwa
kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum tanpa memiliki dasar
ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan tidak jarang,
pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan
mereka sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada
saya.
“Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun, Sumatera Utara. Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap tahun, Pondok tersebut mengadakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengundang sejumlah ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak biasanya ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahun 2010 ini saya dan beberapa orang ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi kali ini membahas tentang Salafi apa dan mengapa, dengan judul Ada Apa Dengan Salafi?
Setelah
presentasi tentang aliran Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya
jawab. Ternyata dalam sesi tanya jawab ini ada orang yang berpakaian
gamis mengajukan keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan
keterangan tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan ta’wil.
Orang Salafi tersebut mengatakan: “Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu, saya dengarkan dengan cermat.
Orang Salafi tersebut mengatakan: “Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu, saya dengarkan dengan cermat.
Kemudian dia melanjutkan keberatannya dengan berkata: “Ayat-ayat
al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat Ahlussunnah”.
Setelah
diselidiki, ternyata pemuda Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi
sebagai guru di lembaga As-Sunnah, sebuah lembaga pendidikan orang-orang
Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan Sofyan yang terakhir,
Saya bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”
Saya
bertanya: “Apakah al-Bukhari penganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah?”
Sofyan menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah al-Albani seorang ahli
hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak
dalam bidang hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.”
Saya
berkata: “Kalau benar al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti
al-Bukhari tidak melakukan ta’wil. Bukankah begitu keyakinan Anda?”
Sofyan menjawab: “Benar begitu.”
Saya
berkata: “Saya akan membuktikan kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga
melakukan ta’wil .”
Sofyan berkata: “Mana buktinya?” Mendengar
pertanyaan Sofyan,
Saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang
ta’wil yang beliau lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda
itu. Saya berkata: “Anda lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari
mengatakan:
بَابُ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ
Artinya, “Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-Nya.”
Nah,
kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu,
artinya kekuasaan-Nya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil
terhadap ayat ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang
sesat, bukan Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan
Ahlussunnah dan pengikut aliran sesat?”.
Mendengar
pertanyaan saya, Sofyan hanya terdiam. Sepatah katapun tidak terlontar
dari lidahnya.
Kemudian saya berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini,
sebaiknya Anda jangan memakai hadits al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan
Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi
memujinya dan menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri.
Al-Albani telah mengkritik al-Imam al-Bukhari dengan kata-kata yang
tidak pantas. Al-Albani berkata: “Pendapat al-Bukhari yang melakukan
ta’wil terhadap ayat di atas ini tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang
Muslim yang beriman”. Inilah komentar Syaikh Anda, al-Albani tentang
ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat:
بَابُ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ
Secara
tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan bahwa ta’wilan al-Imam
al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir.
Kemudian saya mengambil photo
copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda Salafi
ini. Ia pun diam seribu bahasa. Demikian kisah yang dituturkan oleh
Syafi’i Umar Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan
bersemangat dalam membela Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal
Ta’wil
tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf,
di antaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Akan tetapi kaum Wahhabi sering kali mengingkari fakta-fakta tersebut
dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat.
Seorang teman saya, berinisial AD menceritakan pengalamannya ketika
berdialog dengan AM, tokoh Wahhabi kelahiran Sumatera yang sekarang
tinggal di Jember. AD bercerita begini.
“Sekitar
bulan Maret tahun 2010 lalu, saya mengikuti suatu acara di Jakarta
Selatan. Acara tersebut diadakan oleh salah satu ormas Islam di
Indonesia. Dalam acara itu, ada seorang pemateri Wahhabi yang berasal
dari Sumatera dan saat ini tinggal di Jember. Di antara materi yang
disampaikannya adalah persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil atas
ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi
demikian, ia meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu bertempat atau
berada di atas ‘Arasy. Dia menggunakan ayat al-Rahman ‘ala al-‘Arsy
istawa (QS. Thaha : 5).
Lalu
saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru menunjukkan kalau Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak ada di atas ‘Arasy. Akibatnya, terjadiah
dialog sengit antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu
setelah itu, saya membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi
ta’wil sudah biasa dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah
ta’wil yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat wa ja’a
rabbuka wal malaku shaffan-shaffa (QS. al-Fajr : 22). Imam Ahmad
mentakwil ayat tersebut dengan ja’a tsawabuhu wa qhadha’uhu (datangnya
pahala dan ketetapan Allah subhanahu wa ta‘ala). Setelah itu, Ustadz Ali
Musri mencari ta’wil Imam Ahmad tersebut di software Maktabah Syamilah.
Setelah dia menemukannya, dia membacakan komentar Imam al-Baihaqi yang
berbunyi hadza al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak ada nodanya
alias bersih) yang menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.
Ternyata,
aneh sekali, Ustadz tersebut tertawa dan menganggap bahwa komentar atau
penilaian al-Baihaqi yang berupa redaksi hadza al-isnad la ghubara
’alaih tersebut sebagai shighat (redaksi) yang menunjukkan atas
kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa Ustadz lulusan Madinah
tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang biasa dipakai oleh
para ahli hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan al-Baihaqi yang
berbunyi hadza al-isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa sanad riwayat
ini tidak ada nodanya sama sekali, alias shahih. Sayangnya, berhubung
waktu yang disediakan oleh panitia dan moderator telah habis, saya tidak
bisa membantah dan mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.”
Demikian kisah AD, kepada saya secara pribadi.
==
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi”
karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar