17 Juli 2011

PENGAMBILAN HUKUM

Oleh: DR. KHMA. Sahal Mahfudz

KAIDAH-KAIDAH pengambilan hukum yang diciptakan ulama masa lalu tetap bisa dipakai sebagai metode hingga sekarang. Yang perlu digarisbawahi, sejak semula mereka menegaskan, sifat kaidah-kaidah tersebut adalah aghlabiyah (berlaku secara umum, general), hingga ada perkecualian yartg tidak bisa diselesaikan oleh kaidah-kaidah tersebut. Jadi jika ada kritik, paling-paling terhadap satu dua kaidah yang justru tidak berlaku secara aghlabiyah, yang tidak memadai lagi. Kasus-kasus yang dikecualikan lebih banyak daripada yang bisa dicakupnya.

Satu kaidah dalam ushul fiqih yang barangkali dianggap orang sebagai menggiring fiqih kepada bentuk yang tidak kontekstual, adalah al-'ibrah bi 'umum al-lafdhi la bi khusus al-sabab. Kaidah ini banyak diterjemahkan begini, "Yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum fiqih adalah rumusan (tekstual) suatu dalil, bukan sebab yang melatarbelakangi turunnya ketentuan (dalil) tersebut".
Menerjemahkan "la" dengan "bukan" seperti terjemahan di atas adalah salah.
"La" di situ berarti "bukan hanya" (la li al-'athaf bukan la li al-istidrak). Jadi latar belakang, asbab al-nuzul maupun asbab al-wurud (sebab-sebab turun ayat al-Qur'an dan Hadits), tetap menjadi pertimbangan penting dan utama.
Terjemahan yang benar dari kaidah itu adalah, "Suatu lafadh (kata atau rumusan redaksional sebuah dalil) yang umum ('amm), mujmal mau pun muthlaq (yang berlaku umum) harus dipahami dari sudut keumumannya, bukan hanya dari latarbelakang turunnya suatu ketentuan.

Dengan demikian ketentuan umum itu pun berlaku terhadap kasus-kasus cakupannya, meskipun mempunyai latarbelakang berbeda. Sebab jika dalil-dalil al-Qur'an mau pun hadits hanya dipahami dalam konteks ketika diturunkannya, maka akan banyak sekali kasus yang tidak mendapatkan kepastian hukum.

Istilah pembaharuan fiqih sebenarnya kurang tepat, karena kaidah-kaidah dalam ushul fiqih mau pun qawa'id al-fiqhiyyah sebagai perangkat menggali fiqih sampai saat ini tetap relevan dan tidak perlu diganti. Barangkali yang lebih tepat adalah pengembangan fiqih melalui kaidah-kaidah tadi, menuju fiqih yang kontekstual.

Kegiatan semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad dalam pengertian ishtilahi, melainkan ijtihad menurut pengertian bahasa. Upaya semacam itu telah cukup sebagai pengembangan fiqih.

Adalah pesantren, yang paling memungkinkan mengerjakan kegiatan demikian. Kurikulum yang selama ini dipakai tidak perlu diubah, sebab dengan kekayaan itu justru akan tergali warisan ulama masa lalu. Akan tetapi kekurangan dalam pemakaian metode belajar dan mengajar jelas perlu segera ditanggulangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar